BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kepercayaan yang terbagi pada
suatu zaman atau bingkai kerja filosofis mungkin bisa menyediakan jalan untuk
bisa melihat suatu situasi menjadi bermakna. Sebagai contoh, perhatian dalam
suatu pembangunan memiliki fungsi pada ketegori yang mengorganisir konsepsi
dari negara yang suksesif dari unit-unit pendukungnya. Ini cukup beralasan manakala
itu berakar pada pengalaman yang matang, atau hasil dari agama dan ide-ide
filosofis dari peradaban. Di sisi lain, menggunakan perhatian pada kelas sosial
sebagai suatu kategori dan menginterpretasikan situasi merupakan bagian dari
suatu bagian ideologi yang begitu jelas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Fenomenologi
?
2.
Apa yang dimaksud dengan Hermeneutika
?
3.
Apa yang dimaksud dengan
Positivisme ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa
yunani,hermeneuein yang berarti
menafsirkan.menurut Card Breaten yang
mendefinisikan bahwa hermeneutika
adalah (ilmu yang merefleksikan tentang sesuatu kata atau even yang ada pada
masa lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam
konteks kekinian.)
Ada tiga komponen pokok
hermeneutika. Kesatu, adanya tanda, pesan berita yang kerap berbentuk teks.
Kedua, harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing”
terhadap pesan itu. ketiga, adanya perantara atau kurir antara kedua belah
pihak. Terdapat dua aliran besar dalam hermeneutika, yaitu hermeneutika
romantik oleh Schleiermacher dan hermeneutika fenomenologi Heidegger.
Hermeneutika
romantik Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher mengenai
bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada
suatu objek , yakni bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi
supraindividual dan dimensi individual. Tugas utama seorang hermeneutik adalah
membawa kembali kehandak makna yang menjadi jiwa suatu teks. Hermeneutik
fenomenologi Heidegger merupakan sesuatu yang kontradiki. Fenomenologi adalah
seni membiarkan fenomena berbicara sendiri, maka hermeneutika adalah seni
melihat fenomen sebagai teks yang mengundang pertanyaan untuk kemudian
diinterpretasikan. Hermeneutika fenomenologi hendak melepaskan diri dari
kerangka epistimologi dimana subjek tidak lagi berhadapan dengan objek yang
terhampar dihadapannya. Ia mengandaikan subjek selalu dan sudah berada di dunia
yang selalu dan sudah bermakna sebuah dunia yang bukan representasi.
2. Positivisme
positivisme adalah bahwa ilmu
adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang
mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Posivisme juga dapat dikatakan sebagai
suatu aliran pemikiran yang menekankan validitas data secara empirik-verifikatif,
sehingga pengetahuan indrawi dijadikan sebagai satu-satunya norma bagi kegiatan
ilmiah. TesisDengan
demikian, positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek di
belakang fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk
menelaah fakta. Dalam perkembangannya, ada beberapa positivistik, yaitu :
positivisme sosial, positivisme evolusioner, positivisme kritis, dan
positivisme logik.[1]
Positivisme
sosial adalah penjabaran lebih lanjut kebutuhan manusia dan sejarah. Comte dalam
studinya mengenai sejarah perkembangan alam pikir manusia menjelaskan bahwa
matematika bukan ilmu, melainkan alat berfikir logik. Ia menjenjangkan
perkembangan alam pikir manusia yaitu teologik, metafisik, dan positif. Bentham
dan Mill menyatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada
fakta. Mereka menolak otoritas apapun yang menyusupi ilmu. Positivisme
evolusioner berangkat dari fisika dan biologi yang menggunakan doktrin evolusi
biologis. Berangkat dari pemikiran tersebut, Spencer menganggap evolusi adalah
proses dari homogen ke heterogen. Positivisme kritis atau empiriokritisme
memandang bahwa sesuatu ( bisa berupa masyarakat ataupun kebudayaan) itu adalah
serangkaian relasi inderawi, dan pemikiran kita adalah persepsi kita atau representasi
dari sesuatu tersebut. Positivisme logik banyak dikemukakan oleh para pemikir
dari neo-Kantian. Ia menolak segala bentuk etik transeden bahkan ia menyarankan
adanya unifikasi ilmu dan mengganti konsep variabilitas menjadi konsep
konfirmabilitas.[2]
3. Relasi antara Positivisme dan
Gejala-Gejala Sosial
Tesis
positivisme adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan
demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar
fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah
fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja
positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak
setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial
budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan
bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan
hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c)
berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah
berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu
sosial budaya.[3]
Akibatnya,
ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana
halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut
merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya
“contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara
matematis dan fisis.
4. Kritik terhadap Pendekatan
Fenomenologi, Hermeneutik, dan Positivistik
Kaplan
dan Manners berpendapat : Tidak seorang pun memiliki kemampuan untuk mengetahui
secara langsung pikiran orang lain. Kaidah kognitif, hukum, dan kode, pada
akhirnya hanyalah sekedar inferensi—simpulan yang boleh jadi betul tetapi boleh
jadi juga keliru—yang dibuat oleh etnograf. Hal tersebut adalah konsepsi
etnograf mengenai kemungkinan konsepsi informannya. Akan tetapikarena inferensi
itu harus dituangkan dalam sesuatu bentuk yang dapat dipahami tidak hanya oleh
etnografnya sendiri melainkan juga oleh para sejawatnya, maka si etnograf harus
menggunakan kategori pemikiran yang berpijak pada antropologi dan tidak hanya
pada informan warga pribumi yang bersangkutan saja. Tak terelak lagi, kita
semua adalah komparativis.[4]
Jika
dialek dikesampingkan, satu, dua, tiga informan mungkin sudah memadai. Itu
karena penutur asli membuat jenis pembedaan yang sama dalam hal fonem. Artinya,
meraka semua sama-sama merupakan pendukung bahasa tersebut. Akan tetapi semua
individu yang membentuk suatu budaya tidaklah mengambil bagian atau berperan
dalam budayanya secara demikian. Kendati Aberlee menekankan interaksi dan
interdependensi, bukan kognisi, pendapat yang diajukannya mirip dengan
pandangan Wallace. Ini berarti “realitas cultural” mungkin dapat berbeda-beda
bagi pemimpin / pemuka dan bagi warga biasa, dan seterusnya. Bila diterapkan
dengan kewaspadaan yang sepatutnya, model linguistic ini memang dapat
membuahkan banyak hasil dan juga penuh daya saran dalam menangani jenis-jenis
masalah tertentu. Akan tetapi bila kita melupakan sifat parsial dan isomorfis
dalam analogi linguistik ini, mungkin lalu timbul pertanyaan dalam wujud yang
menyulitkan perolehan pemecahan atau “jawab”-nya. Kendato Kaplan dan Manners
banyak melontarkan kritik terhadap linguistik, namun mereka menyarankan untuk
tidak membuang model linguistik tersebut. Hanya saja perlu disadari bahwa model
linguistic ini sepertihalnya dengan pendekatan lain juga memiliki keterbatasan
tertentu.
Studi
terhadap manusia terkait dengan permasalahan menyangkut tindakan yang penuh
makna. Seseorang manusia itu dapat merasakan dunia ini sarat dengan makna dan
tindakan yang penuh makna pula. Hal inilah yang kemudian merupakan pembeda
antara studi tentang manusia dengan ilmu-ilmu fisik. Studi tentang manusia
terfokus pada ide-ide, aspirasi, tindakan-tindakan yang memiliki tujuan, kreasi
yang artistik, perangkat manusia, peraturan yang dibentuk untuk mereka sendiri,
dan lembaga-lembaga yang mereka ciptakan. Pada ilmu-ilmu fisik, perhatian lebih
pada problem eksperimental dan spekulasi terhadap materi secara kebendaan dan
perhitungannya. Dalam ilmu fisik, sulit dibedakan antara mana yang teori dan
mana yang fakta karena teori yang terbentuk semata-mata berasal dari fakta yang
secara empiris melekat pada aspek kebendaan yang menjadi objek studinya.
Misalnya dalam upaya pengklasifikasian, ilmu fisik lebih kepada mencari
unsur-unsur kesamaan pada pola-pola teoritis yang telah ada secara umum tanpa
harus terlebih dahulu mengutamakan common sense terhadap objek material
tersebut.
Teori
ilmu pengetahuan ataupun epistimologi memiliki perhatian yang besar pada
pengujian terhadap berbagai asumsi. Ia berupaya mencapai kepuasan intelektual
pada fondasi secara utuh dari ilmu pengetahuan kita dan memperhatikan bagaimana
suatu pemikiran mengambil posisinya terhadap realitas. Yang menarik di sini
yaitu upaya epistimologi untuk berusaha melihat dan menguji bagaimana seseorang
mengetahui melalui proses berfikirnya. Fokus garapannya yaitu ada proses,
sehingga perdebatannya menyangkut bagaimana metodologi berfikir sehingga
sesuatu itu dapat diterima sebagai suatu kebenaran. Kita perlu bersepakat
mengenai hubungan dari apa yang kita terima sebagai fakta kepada yang lainnya
dan tidak dengan kekusutan hubungan yang berlebihan antara fakta-fakta dan
perangkat kognitif dari pengamat yang bersangkutan. Baik melalui investigasi
secara ilmiah, refleksi filosofis, dan penerimaan secara akal sehat. Studi
tentang manusia secara partikular telah tertahan oleh percobaanya dalam
menegakkan sebuah titik awal yang jelas dan mandiri secara teoritis.
Alternatifnya yaitu menolak pemikiran terhadap titik awal yang absolut dan
mengizinkan apapun aksi filosofis yang ada dalam asumsi terdahulu.
Refleksi
pemikiran tentu saja bukan berupa alat tulis yang siap untuk digunakan menulis,
tidak juga sebagai subjek pembuka pengetahuan yang murni, melainkan mata
intelektualnya yang pertama kali melihat dunia yang asing baginya. Terdapat abstraksi
buatan yang tidak sederhana, tidak bertentangan, dan secara murni merupakan
permulaan secara teoritis. Hal yang terpenting dalam aspek kehidupan manusia
yaitu menyangkut kesadaran (consciousness). Berfikir tidak hanya menyangkut
bagaimana memperhitungkan sesuatu dan mencari pemecahan terhadap sesuatu
permasalahan yang dihadapi, melainkan juga merasakan, membangun semangat,
memiliki keinginan dan perhatian yang mana mewarnai pemikiran dan secara
integral terhadap konsep kedirian. Dengan demikian kita bisa mengkoordinasi
keinginan dan membuat rencana. Kita mengatur tindakan dan prinsip-prinsip yang
kita pegang.
Apapun
yang disebut dengan pengalaman ditentukan melalui pengaturan pada aspek
psikologis dan diwarnai ataupun didistorsi oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kemampuan kita untuk memaknai suatu pengalaman tergantung pada anugerah yang
diwariskan dari kecerdasan, ingatan, perhatian, sama baiknya dengan warisan
dari sosial dan budaya. Bahasa, ide-ide, pengetahuan yang utuh, persangkaan
oleh massa merupakan hasil dari suatu proses sejarah. Titik awal ini mengandung
elemen dari fakta yang tidak bisa direduksi. Figur yang mengendalikan hal
tersebut memiliki kapasitas ganda; pertama sebagai persangkaan terhadap ilmu
pengetahuan, kedua sebagai pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, kita
“dipaksa” untuk menguji kembali alam pengetahuan. Kita terlibat dalam suatu
lingkaran dimana pengetahuan merampas pengertian absolutnya dan harus menjadi
bagian dari kesatuan realis yang naif. Pengetahuan dinyatakan sebagai suatu
yang relatif atau dibatasi oleh suatu titik tegak. Menurut saya, kita bisa saja
berusaha memberikan penerangan / pencerahan, tetapi bukan secara objektif
melainkan berkenaan pada perspektif terhadap kondisi manusia, yang mana ia
sendiri sebagai objek penyelidikan.
Ketika
kita memperdebatkan secara objektif dengan mengambil batasan dari konteks yang
dijelaskan, maka kita telah mengambil kondisi epistimologis sebagai jaminannya.
Bila pada titik awal filosofis yang mana keseluruhan problem dari ilmu pengetahuan
dikemukakan sebagi suatu gagasan, maka kita tidak dapat menghindar dari
perspektif psikologis, sosiologis, dan historis dimana setiap aksi kognitif
berada. Ketika kita telah berketetapan untuk merangkum keseluruhan ilmu
pengetahuan, maka kita tak bisa mengambil langkah di luar aspek keilmuan. Kita
berusaha menginterpretasi suatu perihal yang mana ketika kita baru memulai
tugas itu, sesungguhnya hal tersebut telah diinterpretasikan pada masa yang
lalu. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperoleh konsistensi yang lebih besar
dan meningkatkan kesadaran terhadap diri kita sendiri. Keseluruhan struktur
ilmu pengetahuan bukanlah suatu gambaran dari realitas melainkan suatu reasi
dari manusia ke dalam suatu keputusan dan evaluasi. Dunia dipandang dan diorganisir
dari suatu poin khusus dan ditentukan oleh perangkat kognitif dan dengan jalan
inilah maka hal itu diinterpretasikan. Proses ini nampak pada penggunaan kita
dalam berbahasa. Misalnya menyangkut suatu pengklasifikasian.
Berangkat
dari hal tersebut di atas maka saya berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
merupakan rangkaian interpretasi yang hadir melalui suatu metode yang cermat
dan memiliki tujuan tertentu. Filsafat, agama, dan mitos menginterpretasikan
aspek mendasar dengan cara yang bervariasi. Tegasnya, interpretasi membuat
dunia sarat dengan makna bagi manusia. Namun apabila kita tidak dapat melangkah
di luar perspektif yang diciptakan dari interpretasi kita sendiri, maka kita
tidak bisa menjawab pertanyaan tentang konsepsi kita terhadap realitas. Yang
dapat dilakukan yaitu membuat hal ini tetap konsisten dan komprehensif.
Memperlakukannya sebagai fakta dari kehidupan manusia dan subjek dari studi
tentang manusia. Hal ini tentu saja menyerap pemaknaan yang dibawa oleh
interpretasi manusia terhadap dunianya. Melalui pengujian mengenai terbitnya
suatu makna, maka kita dapat menyajikan studi tentang manusia dari basis
epistimologis yang kita miliki. Kesadaran terhadap kedirian diri sendiri dan
terhadap dunia, hampir selalu diiringi oleh konseptualisasi dalam hal bahasa.
Dalam merasakan sesuatu tentunya setiap individu memiliki perbedaan sebab
individu tersebut mengklasifikasikannya dalam pengalaman dan menempatkannya
dalam konteks ingatan dan pengetahuan secara umum yang dimilikinya secara
individual.
Pendekatan
secara linguistik yang masuk akal terhadap pemaknaan terletak pada faktanya.
Selanjutnya lahirlah pertanyaan yaitu, “Apa yang membuat suatu situasi menjadi
sarat dengan makna?”. Pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apa yang membuat
pernyataan ini menjadi penuh makna?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di
atas, maka sebaiknya kita merujuk pada makna non-linguistik yang kita pakai
dalam percakapan sehari-hari. Perbedaannya justru lebih menggelapkan daripada
mencerahkan jika hal-hal tersebut jarang diperlakukan melalui perluasan secara
analogis dalam makna yang terdapat pada akal linguistik. Makna dari
tindakan-tindakan, makna dari berbagi situasi, memiliki tempat yang begitu
penting. Bila filsafat berusaha menemukan relevansinya dengan studi tentang
manusia maka proses analisisnya berupa makna pada kata-kata. Sebagai gambaran,
maka cobalah untuk menceritakan suatu hal yang sama dengan gaya bahasa
bercerita yang berbeda.
Perluasan
menyangkut fitur berbeda dalam situasi yang sama, membuatnya memiliki makna yang
lebih banyak ataupun justru menjadi tanpa makna. Ekspresi yang berbeda dapat
memperjelas dan memperkuat satu sama lainnya. Manusia mendapatkan situasi
sebagai suatu yang sarat makna karena diperlakukan demikian oleh mereka, dan
memberi respon kepada mereka, menghubungkannya terhadap situasi yang lain,
menghakimi dan menginterpretasinya dalam ingatan. Makna menjadi lebih ataupun
kurang kompleks. Namun makna bagi seseorang dikonfrontasikan dengan situasi.
Sehingga subjektivitas terhadap makna menjadi hal yang lazim. Makna yang
didapatka oleh seseorang dapat difahami oleh orang lain. Dalam hal tersebut
terjadilah persebaran makna (shared of meaning).
Fakta
bahwa hubungan pengalaman yang mengatur kategiri hanya pada kasus di diri kita
sendiri dan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain yang didasari
pengalamannya, tidak berarti bahwa hal itu mengakibatkan masuknya pengaruh pada
mental kita sendiri diperlakukan sebagi sesuatu yang tak boleh salah ataupun
lebih jujur dibandingkan interpretasi kita terhadap perilaku orang lain. Ini
adalah inti pada penelitian secara empiris, dan bukan sebagai keputusan secara
teoritis. Terdapat pula kategori yang lain, yakni hubungan antara bagian-bagian
kepada keseluruhan. Misalnya struktur gramatikal yang mengartikan suatu kata
benda ataupun kata kerja merupakan suatu pola trsanslasi yang ditemukan di
dalam kamus. Makna dari bentuk dan tindakan menjadi lebih jelas ketika
menghubungkannya kepada tindakan yang lain dan bentuk yang lain dan pada
situasi sesuai di mana mereka berada. Akhirnya, kita menempatkan objek pada
suatu konteks yang utuh.
Adapula kategori yang lain lagi,
yaitu pengkonseptualisasian hubungan yang memakai dan juga dipakai oleh suatu
lingkungan. Biasanya disebut kategori dari kekuasaan. Sesuatu kejadian menjadi
bermakna sesuatu apabila masuk sebagi sesuatu yang tak terelakkan. Hal ini
menjadi istimewa ketika merupakan pangalaman aktual dari manusia. Disebut
sebagai kategori dari kekuasaan karena kekuasaan atau kekuatan dari pengalaman
saat kita dibebani oleh keadaan eksternal ataupun kita yang mempengaruhi
keadaan tersebut. Kategori selanjutnya yaitu kategori nilai. Dalam kategori ini
terdapat penghakiman yang mana terdapat pemberian pengankuan terhadap suatu
makna pada suatu situasi dengn menghubungkannya kepada kepuasan ataupun
ketidakpuasan, kenyamanan atau kesakitan, keterbuktian ataupun
ketidakterbuktian. Situasi-situasi tersebut menadi sarat makna dalam aspek
emosi yang positif dan negatif. Bagian-bagian jalan yang berbeda yang dibangun
dari moral, estetika, ataupun putusan secara ekonomis tidaklah pada sesuatu
yang diejawantahkan tetapi pada pengalaman menyangkut penilaian sebagai sesuatu
yang biasa dan universal. Terakhir, adalah kategori yang memformulasi yang
menghubungkan antara situasai dan tujuan. Ketegori ini disebut dengan kategori
makna dan akhirnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesuatu
menjadi bermakna bagi kita apabila hasilnya adalah apa yang kita tuntut.
Kategori ini memiliki unsur kesamaan dengan kategori sebelumnya. Kita akan
berusaha mewujudkan sesuatu yang bagi kita menyenangkan atau berharga. Tetapi
kedua ketegori ini tak bisa direduksi menjadi satu. Karena sesuatu yang dianggap
barmakna pada akhir tujuannya, belum tentu hal itu memiliki nilai yang
berharga. Menginginkan suatu kesenangan dari suatu yang telah terlaksana
terhadap sesuatu yang perlu untuk dilakukan tidaklah sama dengan menginginkan
sesuatu untuk dilakukan. Tidak hanya pada bagaimana kita mengatur diri kita
sendiri sebagai tuajuan yang penuh makna, tetapi juga tampak sebagai suatu yang
disediakan sebagai makna dari tujuan itu.
Penjelasan
di atas menunjukkan bagaimana uniknya hidup manusia, yang mana manusia dapat
membuat dunia disekitarnya menjadi bermakna dengan cara mengatur dirinya
sendiri sebagai suatu kumpulan dari tujuan-tujuan dan mencari makna yang
diperolehnya. Beberapa dari tujuan itu berakar pada pengaturan pada corak
psikologis dan kebutuhan biologis. Selebihnya diciptakan dari diri kita sendiri
ataupun dari tradisi. Oleh karena kategori ini berakar dari hal yang
fundamental dari kehidupan manusia, yang mana kita menggunakan semua simbol,
memiliki perasaan, mengharapkan sesuatu, mempunyai satu kesatuan tetapi
kesadaran yang kompleks; maka dalam penginterpretasiannya menjadi bersifat
universal. Terhadap hal di atas, bagaimanapun juga, kita tidaklah dapat
mendaftarkan keseluruhan kategori tersebut ke dalam satu daftar namun kita juga
tak bisa mengecualikan sebagian. Secara spesifik, kategori tersebut memiliki
semacam peran dalam kehidupan mental kita.
B.
Kritik dan Saran
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang dengan rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, karena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang terkait dengan judul
makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran serta masukan yang
membangun senantiasa kami harapkan dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan
pembelajaran kali ini. Amin. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusunnya
lebih-lebih kepada pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhadjir
Noeng. 1998. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta
: Rake Sarasin
Putra- Ahimsa,
H.S. 1997. “Antropologi Koentjaraningrat : Sebuah Tafsir Epistimologis”, dalam
Masinambow, E.K.M. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia
Kaplan, David
& Albert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
[1]
Noeng Muhadjir. 1998. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.
Yogyakarta : Rake Sarasin
[2]
Noeng Muhadjir. 1998. Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.
Yogyakarta : Rake Sarasin
[3]
Ahimsa-Putra, H.S. “Antropologi Koentjaraningrat : Sebuah Tafsir
Epistimologis”, dalam Masinambow, E.K.M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi
di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
[4]
Kaplan, David & Albert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar